Selama 20 tahun, 3 bulan dan 13 hari ketika tulisan ini diketik, baru malam ini saya mau mengeluarkan air mata untuk timnas Indonesia. Saya suka dengan perjuangan mereka, dan saya yakin bukan hanya saya saja yang mengeluarkan air mata malam ini, puluhan ribu orang yang menonton di Stadion Gelora Bung Karno Malam ini pastinya akan mengalami kepedihan yang lebih.
Kita, hari ini, 18 Juli 2007, berkesempatan untuk menulis sejarah baru di pentas persepakbolaan. Tapi apa mau dikata, kita belum diizinkan untuk memasuki babak baru dalam persepakbolaan kita, artinya masih banyak yang harus dibenahi dalam sistem persepakbolaan kita.
Saya tidak ingin menyalahkan siapapun atas kegagalan kita kali ini, kita gagal terhormat, jauh lebih terhormat dari Thailand yang di pertandingan akhir tampil antiklimaks, kalah 0-4 dari Australia, atau Malaysia, yang hanya menjadi lumbung gol. Meskipun, kita patut angkat topi pada anak-anak negeri Paman Ho.
Yang harus dilakukan sekarang adalah memperbaiki sistem dan manajemen persepakbolaan nasional, terutama dalam hal pembinaan pemain muda. Belajarlah pada Vietnam, anda lihat siapa duet di lini depan mereka, Le Cong Vinh dan Phan Tan Binh, dua orang pemuda yang merintis karir timnas mulai dari bawah. Le Cong Vinh dan Phan Tan Binh, bahkan sampai sekarang masih termasuk timnas Olimpiade Vietnam, itu artinya mereka belum terlalu matang untuk ukuran seorang pesepakbola, tapi lihat performa dua anak emas Paman Ho itu, tanpa mereka saya piker Vietnam tidak akan mampu berbuat banyak. Bandingkan dengan performa timnas U-23 kita, hanya Boaz yang mampu konstan bermain di timnas senior. Lainnya, bahkan jarang dimainkan di klubnya, jujur saja saya masih asing dengan hampir seluruh punggawa timnas U-23. Memang SDM yang buruk, ataukah pembinaan yang salah. Masih sering kita dengar kasus pencurian umur di kompetisi-kompetisi junior.
Kemudian, dalam hal kompetisi lokal, kita terlalu royal membuka kran pemain asing. Hasilnya, dalam lima musim terakhir, Top Scorer dikuasai oleh orang-orang ekspatriat. Mana nama Bambang pamungkas, Ahmad Amiruddin, Budi Sudarsono? Mereka tenggelam dibawah Cristian Gonzalez, Emanuel De Porras, Franco Hitta, Emeleu Serge, Batoum Roger, yang kualitasnya tidak cukup istimewa. Kalau mau jujur, anak-anak muda kita yang sering main di lapangan kampung, memiliki potensi untuk jauh berbicara di level Asia.
Namun, ada pula keuntungan kita dengan hasil-hasil yang diperoleh timnas, sekarang tidak ada lagi rasa inferior atupu minder terhadap nama-nama besar di level Asia. Selain itu, sekarang kita sudah mulai mencintai timnas kita sendiri, sesuatu yang tak mungkin terjadi dalam waktu 10 tahun kemarin. Saya iri dengan bangsa-bangsa lain yang begitu bangga terhadap timnas mereka, begitu cinta pada mereka, orang –orang yang berpesta tiap timnas mereka menang, dan menangis tersedu-sedu ketika timnasnya kalah. Hal itu sudah kita rasakan ketika kita bertanding di Piala Asia kali ini, mudah-mudahan hal ini akan terus berlanjut dan diiringi peningkatan prestasi kita.
Ketika saya mulai menutup uneg-uneg saya kali ini, air mata masih membayang di pelupuk mata saya. Tapi percayalah, lain kali akan ada tawa untuk timnas. Mungkin di SEA GAMES nanti, mungkin di Piala AFF, atau pun di Piala Asia edisi mendatang, bahkan untuk Piala Dunia, saya masih yakin !!!
Sekarang marilah kita kembali aktivitas kita masing-masing seraya mengambil hikmah dari perjalanan timnas kali ini, banyak hal yang bisa didapat , saya tak akan mengurai hal-hal tersebut, karena anda pasti sudah tahu sendiri.
HIDUPLAH INDONESIA RAYA!!!!!!
hiks.... sy jg meneteskan air mata... tp bukan karena sepak bola, krn kelopak mata kiri sy lg terserang "timbilan'. hiks..
ayo indonesia.... MAJUUU!!!!